1.
Pendahuluan
1.1.
Latar belakang
Dewasa ini
banyak kejadian dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan bantuan dan uluran
tangan. Akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang hingga sekarang
belum ada ujungnya. Banyak terdapat kaum dhu’afa yang membutuhkan uluran tangan
dari semua yang berada di kalangan atas. Dhu’afa sendiri merupakan sebuah
kelompok manusia yang dianggap lemah atau mereka yang tertindas.
Kaum
dhuafa adalah golongan manusia yang hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan,
kelemahan, ketakberdayaan, ketertindasan, dan penderitaan yang tiada putus.
Hidup mereka yang seperti itu bukan terjadi dengan sendirinya tanpa adanya
faktor yang menjadi penyebab. Adanya kaum dhuafa telah menjadi realitas dalam
sejarah kemanusiaan.
Dari segi
ekonomi kaum dhu’afa merupakan seseorang yang fakir dan miskin (tertekan
keadaan) tetapi bukan dalam keadaan malas. Dari segi fisik, kaum dhu’afa
merupakan seseorang yang kurang tenaga (bukan keadaan malas). Dari segi otak
kaum dhu’afa merupakan seseorang yang bodoh dan juga bukan dalam keadaan malas.
Dari segi sikap, kaum dhu’afa merupakan seseorang yang terbelakang (bukan
karena malas).
Kaum dhu’afa
terdiri dari orang-orang yang terlantar, fakir miskin, anak-anak yatim dan
orang cacat. Kaum dhu’afa merupakan orang yang menderita secara sistematik.
Para dhu’afa setiap hari berjuang melawan kemiskinan. Para dhu’afa secara
sendirian berjuang melawan sistem kapitalisme. Kaum dhu’afa bekerja sebagai
pemulung, para pedagang asongan, pengemis jalanan, buruh bangunan dan abang
becak.
Pengertian kaum dhu’afa sendiri
sudah jelas disebutkan dalam QS. An-Nisa’ : 9

“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah (dhi’afan) yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka”
Dalam beberapa ayat yang lain,
dhu’afa disebut sebagai mustadh’afin
diantaranya dalam QS. Al-Qashash : 5

“Dan
kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
(alladzinastudh’ifun) di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin
dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”
Islam berpihak
terhadap kaum dhu’afa. Keberpihakan islam bukan sebatas pada aktivitas yang
memecahkan berbagai masalah sosial dan kemanusiaan kaum dhu’afa, melainkan
lebih dari itu adalah untuk menyelamatkan para kaum dhu’afa dari bahaya
kesesatan dan kekafiran, yang kemudian membawa para kaum dhu’afa menuju
keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah
SWT dan Rasulullah SAW dengan jelas memihak kaum dhuafa, maka tidak sedikit
ayat Al-Qur’an yang membunktikan keberpihakan Allah SWT tersebut. Begitu pula
beberapa hadist yang membuktikan keberpihakan Rasulullah SAW. Keberpihakan yang
diberikan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW kepada kaum dhuafa sedemikian besar
dan tinggi. Allah SWT tidak menghendaki kaum dhuafa yang hidupnya penuh dengan
kesulitan dan berbagai penderitaan, bertambah parah.
Kemiskinan
yang mendera masyarakat selama ini
memunculkan banyak kaum dhu’afa dan kaum mustadh’afin, seperti kaum miskin,
fakir, perempuan, orang yang terlilit hutang, anak yatim, dan lain-lain. Namun,
tidak menutup kemungkinan yang menjadi kaum mustadh’afin adalah orang kaya.
Islam yang memiliki konsep “ideologi pembebasan” sejatinya adalah agama yang
ingin membela kaum-kaum tersebut. Hal ini terlihat dalam ajaran-ajaran yang
diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik dalam Al-Qur’an maupun hadist.
Rasulullah dalam banyak hadist, bahkan semasa hidupnya begitu dekat dengan kaum
dhu’afa dam kaum mustadh’afin. Nabi lebih memilih seperti kaum dhu’afa, seperti
hidup sederhana.
Orang-orang
yang memperoleh kelebihan dan kelapangan dari Allah SWT, sudah semestinya
bersyukur dan mengeluarkan sebagai hartanya untuk meringankan beban hidup kaum
dhuafa. Dengan demikian, kaum aghniya berkewajiban untuk memberi bantuan dan
pertolongan kepada kaum dhuafa yang ada dalam lingkungannya.
Seperti pada
penjelasan di atas, subyek penelitian yang dilakukan bukan kepada orang yang
bermalas-malasan melainkan sanggup bekerja meskipun hasil yang didapatkan tidak
tetap setiap harinya. Laporan penelitian ini bertujuan agar pembaca dapat
mengerti tentang dinamika kaum dhu’afa.
1.2.
Rumusan
Masalah
1) Bagaimana
temuan hasil penelitian terhadap kaum dhu’afa ?
2) Bagaimana
refleksi hasil penelitian terhadap kaum dhuafa ?
2.
Pembahasan
2.1.
Temuan Hasil Penelitian
Peneliti melakukan wawancara
terhadap pedagang asongan (es klining)
yang berda di Alun-Alun Kota Malang. Dengan hasil wawancara sebagai berikut :
Q : Saya berbicara dengan bapak siapa ?
A : Saya Parman
Q : Umur bapak berapa ?
A : Hehehehe saya lupa (sambil meringis)
Q : Bapak asalnya mana ?
A : Saya asalnya Pandanwangi, Wagir
Q : Anak bapak berapa ?
A : 2
Q : Istri bapak bekerja juga ?
A : Istri saya sudah meninggal 2 tahun
yang lalu
Q : Maaf, anak bapak masih sekolah atau
sudah kerja
A : Keduanya sudah menikah, dan sekarang
tinggal di Jakarta
Q : Bapak tinggal sendiri ?
A : Iya ikut saudara-saudara saya
Q : Bapak sudah lama berjualan es seperti
ini ?
A : Sudah. Sekitar 4 tahun yang lalu
Q : Jualannya di sekitar alun-alun saja
Pak ?
A : Biasanya saya jualan di
sekolah-sekolah, kalau sekolah sudah selesai baru pindah ke sini (Alun-Alun).
Kalau hari Minggu saya jualan di Pasar Minggu Jalan Ijen. Kalau sudah selesai
baru ke Alun-Alun
Q : Sehari bawa berapa biji Pak ?
A : Ya biasanya ambil dari pabriknya 150
Q : Sehari dapat berapa Pak ?
A : Antara Rp 20.000 – Rp 25.000
Q : Bekerja mulai jam berapa Pak ?
A : Berangkat dari jam 06.00 kadang
sampai jam 17.00
Q : Apa selalu habis Pak ?
A : Ya kalau hari Minggu biasanya habis,
kalau gak habis ya saya kembalikan ke pabriknya.
Q : Sebelum berjualan bekerja sebagai apa
Pak ?
A : Jadi buruh bangunan sejak saya hanya
digaji Rp 50/hari
Q : Kenapa memilih beralih menjuadi
pedagang Pak ?
A : Karena saya berpikir umur saya
semakin tua, jadi tidak memungkinkan jadi buruh bangunan. Dan sekarang sudah
banyak yang muda yang menggantikan
Q : Apakah yang didapat cukup untuk
sehari bapak ?
A : Alhamdulillah saya merasa cukup
dengan apa yang saya dapatkan selama ini.
Dari
hasil wawancara di atas bisa disebutkan bahwa Bapak Parman adalah seorang Kaum
Dhu’afa. Dari segi fisik Pak Parman sudah cukup renta. Apabila dilihat dari
usianya, Bapak Parman semestinya menikmati hari tuanya dengan anak cucunya.
Namun, dikarenakan dia hidup sendiri, Pak Parman berusaha untuk melakukan apa
saja yang halal untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Pak Parman juga
tidak termasuk orang yang bermalas-malasan seperti pengemis kebanyakannya. Pak
Parman sudah menunjukkan jerih payahnya mengayuh sepeda tuanya dari pagi hingga
sore demi mencukupi kebutuhannya seorang diri.
2.2.
Refleksi Hasil Penelitian
Dari
hasil wawancara tersebut manusia memiliki kewajiban, tugas, dan tangung jawab
berupa materi maupun non materi untuk berjuang membantu dan bahu membahu
berjuang di jalan Allah membebaskan para kaum Dhu’afa dari belenggu perbudakan,
belenggu kesesatan dan belenggu ketidakmampuan. Upaya meningkatkan ekonomi kaum
Dhu’afa dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk memperhatikan pendidikan
dan kesehatan, menyantuni, menolong dengan harta, tenaga, fikiran, yang pada
dasarnya memang tugas dan tanggung jawab bagi yang mampu. Seperti terdapat QS.
Al-Isra ; 26-27 :


26. Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.
Nilai
kebajikan yang diajarkan pada potongan ayat ini adalah nilai ibadah sosial memenuhi hak-hak sanak kerabat yaitu dengan
membangun hubungan hablumminannas dengan saling membantu sebagai kewajiban
bersama setelah itu baru segi ibadah sosial di tujukan kepada kaum fakir miskin
dan orang yang kehabisan bekal dalm perjalanan. Orang yang berhak di santuni
dalam kategori keduanya adalah termasuk kaum dhuafa.
Setelah
menyinggung tentang ibadah sosial maka melalui bagian akhir surat al isra ayat
26 ini Allah telah memberikan batasan larangan "jangalah kamu berlaku
tabdzir terhadap karunia rizki yang sudah Allah berikan kepadamu" yang
dimaksud tabdzir adalah membelanjakan harta tidak pada tempatnya. Lebih tabdzir
lagi membelanjakan harta untuk keperluan maksiat.
Dan tentu
saja para pemboros itu adalah kaki tangan setan. karena nikmat rizki yang di
berikan oleh Allah kepada mereka bukanlah digunakan untuk sesuatu yang di
ridloi malah justru di gunakan untuk berbuat durhaka kepada Nya. Disinilah syetan disebut kafur tidak di sebut dengan
sifat-sifat terkutuk lainya karena orang-orang yang menghambur-hamburkan harta
untuk keperluan maksiat berarti ia kafur sebagai mana yang dilakukan oleh
syetan.
Segala
perbuatan sosial yang berkaitan dengan kemasyarakatan yang dilakukan hendaklah
mengutamakan saudara semua. Sehingga bisa diharapkan, manusia menjadi ummat
yang unggul baik secara aqidah, ekonomi, pertahanan, dan lain sebagainya. Dari
sinilah loyalitas terhadap ajaran agama menjadi tampak. Rasulullah bersabda :
“Tidak sempurna seseorang di antara kamu, sehingga dia
mencintai saudaranya sama seperti mencintai dirinya sendiri.”
Hadist
ini mengaitkan antara kesempurnaan iman dengan kecintaan terhadap sesama
muslim. Bukan hanya sekedar ucapan cinta, tetapi lebih utama adalah pembuktian
rasa cinta itu dalam kehidupan. Misalnya dengan membantu meringankan beban
hidup kaum Dhu’afa secara fisik maupun non fisik. Karena cinta tanpa bukti tak
lebih dari fatamorgana dan hiasan bibir semata. Kepedulian kepada sesama muslim
ini menjadi barometer sejauh mana kesempurnaan iman seorang muslim. Semakin
peduli seorang muslim terhadap saudaranya, sejauh itu pula kesempurnaan
imannya.
Dalam
hidup bersama, manusia tidak hanya dikaitkan seperti mata rantai berkaitan satu
sama lain. Manusia berhubungan satu sama lain dengan suatu perasaan dan sikap
pribadi, yaitu dengan cinta kasih. Cinta kasihpun masih didampingi oleh
berbagai sikap hati yang lain seperti kepercayaan dan harapan.
Kaum
dhuafa tidaklah lemah dan inferior dalam pergaulan dan membuat hidup mereka
terbelakang atau sebaliknya menjadi superior sehingga terjerumus ke dalam
perbuatan yang merusak diri dan masa depannya, diperlukan keberadaan
orang-orang yang dapat memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap para kaum
dhuafa. Sejak zaman Rosulullah bukan hanya memberikan jaminan sosial kepada
kaum dhuafa untuk keperluan hidup di dunia, melainkan juga jaminan akhirat.
Rasulullah telah memperlihatkan bagaimana islam memberikan perhatian yang besar
terhadap nasib kaum dhuafa.
Dalam
konteks ekonomi, kaum dhu’afa biasanya dicirikan dengan kepemilikan terhadap
alat-alat produksi (kapital) yang sedikit, baik itu disebabkan oleh
marginalisasi struktural maupun terjadi secara alamiah. Sederhananya, biasa
disebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang disebabkan oleh marginalisasi
struktural yang dimaksud adalah suatu realita ekonomi masyarakat yang
diakibatkan oleh adanya kebijakan (negara) yang timpang, dimana terdapat
segelintir orang yang memiliki akses dan penguasaan terhadap alat-alat produksi
yang lebih dibandingkan mayoritas masyarakat. Sementara, kemiskinan alamiah
dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas ekonomi masyarakat yang muncul
sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, dimana kemiskinan atau kekayaan
benar-benar diperoleh berkat usaha masing-masing individu dalam masyarakat.
Dalam
konteks pembangunan ekonomi ke depan, kaum dhu’afa dijadikan perhatian
prioritas dari negara. Kehidupan ekonomi kaum dhu’afa sebagaimana sederhananya,
sesungguhnya menjadi basis pertahanan yang strategis bagi negara dalam
menghadapi kemungkinan krisis. Disamping itu, dinamika kehidupan ekonomi kaum
dhu’afa relatif lebih sehat, humanis, komplementatif, dan jauh dari model-model
kompetisi yang saling menegasi.
Oleh
karena itu, ciri manusia sosial menurut islam ialah kepentingan pribadinya
diletakkan dalam kerangka kesadaran akan kewajibannya sebagai mekhluk sosial.
Kesetiakawanan dan cinta kasih inilah yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW
dan sahabat-sahabatnya. Inilah ajaran iman dan amal shalih yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW berupa akhlak rabbani dan akhlak insani.
3.
Penutup
3.1.
Kesimpulan
Kaum
dhu’afa merupakan korban kekerasan negara. Kaum dhu’afa terdiri dari
orang-orang yang terlantar, fakir miskin, anak-anak yatim dan orang cacat. Kaum
dhu’afa adalah orang-orang yang menderita hidupnya secara sistematik. Para
dhu’afa setiap hari berjuang melawan kemiskinan. Kaum dhu’afa menanggung beban
hutang negara dengan membeli mahalnya minyak tanah dan sembako.
Kaum
dhu’afa cerminan ketidakmampuan negara dalam memeliharanya. Para dhu’afa
sendirian berjuang melawan sistem kapitalisme. Kaum dhu’afa merupakan
orang-orang miskin yang ada di jalanan, di pinggiran dan di sudut-sudut
lingkungan kumuh. Bekerja sebagai pemulung, pedagang asongan, pengemis jalanan,
buruh bangunan, dan abang becak. Penderitaan dan penindasan yang dialami oleh
para kaum dhu’afa menyebabkannya rentan terhadap penyakit menular dan ancaman
bunuh diri
3.2.
Saran
Selayaknya
semua masyarakat merasakan suka dan duka bersama kaum dhu’afa. Agama memberikan
isyarat sangat jelas untuk mengeluarkan zakat fitrah kepada kaum dhu’afa.
Mereka merupakan orang-orang yang tertindas yang memerlukan pertolongan manusia
yang lainnya. Agar bangsa menjadi kuat maka sebaiknya memberdayakan kaum
dhu’afa dan membangkitkan semangat kerja keras bagi generasi muda dan
anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)